Belajar Membaca dengan Mulut & Tangan
SEKARANG aku punya kegemaran baru. Sebuah hobi yang menular dari kebiasaan ayah, yaitu membaca. Sama halnya dengan beliau yang suka membaca apa saja, baik itu buku, majalah maupun koran, aku pun doyan demikian. Cuma bedanya, kalau beliau membaca dengan hati, aku justru membaca dengan mulut dan tangan.
What? Apa sich maksudnya? Itu lho, setiap buku, majalah dan koran kepunyaan ayah, habis aku "lahap" membolak-baliknya dengan tangan. Puas begitu, ritual membaca itu aku akhiri dengan "melahapnya" dalam artian sebenarnya. Yup, buku, majalah atau pun koran akan berlabuh ke dalam mulutku .
Hasil akhirnya, bukannya aku bisa hafal dengan isi bacaan tersebut, tapi justru "menghabisi" wujudnya menjadi tanpa bentuk. Hancur!!!
Kebiasaan ini, kata ayah, sudah aku lakoni sejak berumur 10 bulan lalu. Namun intensitas dan pola bacanya mulai berubah beberapa minggu belakangan ini. Jika sebelumnya aktivitas membaca dengan mulut lebih banyak kulakukan, sekarang ritual membacaku lebih banyak pakai tangan. Membolak-balik setiap halaman buku, majalah dan koran. Aku paling suka "membaca" majalah. Karena disamping full colour, gambarnya juga bagus-bagus buat dipelototin. Majalah yang paling sering "kubaca" adalah majalah langganan bundaku, yaitu Ayahbunda.
Di rumah, sangat banyak sekali bahan bacaan. Punya ayahku saja, sudah tidak terhitung lagi jumlah buku, majalah dan korannya. Saat ini beliau berlangganan Kompas minggu, Media Indonesia minggu dan Koran Tempo minggu. Belum lagi sejumlah majalah yang biasanya dibeli secara eceran bila topik bahasannya sedang bagus biasanya edisi khusus), seperti Tempo, National Geographic dan Gatra. Dulu beliau pun pernah berlangganan majalah Islami serupa Hidayah, Ghaib, Nikah dan lainnya. Cuma lantaran distribusi majalah itu sering ngadat di tempat langganannya, ayah akhirnya membeli bila sempat saja alias tak lagi langganan.
Itu belum lagi kalau beliau mendapat buku gratis dari acara launching sebuah buku atau membeli buku yang dianggap menarik dan perlu untuk dibaca. Bisa dibayangkan, betapa banyaknya koleksi ayah. Hebatnya lagi, almarhum kakek (papanya bunda) "mewarisi" pula sejumlah buku-buku Islam. Seperti Tafsir Qur'an, kumpulan hadist, tasawuf, buku karangan Hamka, Imam Ghazali dan sebagainya. Belum lagi punya Om Daus (adik bunda) yang juga tak kehitung jumlahnya.
Kalau seluruh buku, majalah dan koran tersebut dikumpulkan, mungkin rumah kami sudah bisa jadi taman bacaan. Emang sih, ayah punya rencana untuk membuat perpustakaan pribadi di kamar lantai II. Cuma rencana itu belum bisa direalisir, karena memakan banyak biaya. Katanya, untuk sebuah perpustakaan harus didesain sedemikian rupa, agar betah "tenggelam" di dalamnya, dan koleksi yang tersimpan di dalamnya harus awet dari rongrongan rayap, serta berada dalam suhu yang sesuai.
Saat ini, koleksi milik ayah masih tersimpan rapi dalam berbagai lemari. Ada di kamar, ada di ruang keluarga, ada di ruang tamu, dan bahkan ada pula di gudang. Aku berharap koleksi2 ayah, kakek dan om-ku akan tetap bertahan hingga dewasa nanti, sehingga aku bisa memanfaatkannya sebagai lautan ilmu bagiku. Semoga saja...(***)
NB: pesan ayah jangan membaca kayak gini
Banyak baca banyak tauk ya Disya... Hehehe... Mo ikutan Ayah jadi wartawan yak hehehe... Nanti sebentar lagi balajar mewarnai yak sayang...
Posted by Anonymous | 12 May, 2006 09:49
ayah kalo disya udah bisa baca langsung ajarin main komputer yah! biar bisa chating sama tante, hihihihi
Posted by Hannie | 12 May, 2006 13:59