Lilypie 2nd Birthday PicLilypie 2nd Birthday Ticker

« Home 

25 April 2006 

Hindari Gempa & Tsunami, Aku Dilahirkan Bunda di Muara Tembesi

Image hosting by Photobucket

KETIKA aku lahir..., banyak relasi ayah dan bunda yang menanyakan kenapa aku lahir di Muara Tembesi, Jambi. Padahal mereka tahu kalau ayah dan bundaku berdomisili di Padang...

Berikut ini, cerita ayahku soal mengapa aku lahir di situ...

Pasca gempa dan tsunami melanda Aceh dan Sumut pada 26 Desember 2004, psikologis masyarakat Sumbar terganggu. Mereka begitu ketakutan, kalau-kalau hal serupa juga terjadi di sini, khususnya di Kota Padang. Tiap sebentar, ada saja isu tsunami sehingga warga kota banyak yang mengungsi ke daerah yang tinggi.

Ketakutan itu memuncak, seiring terjadinya rangkaian gempa besar pada 10 April 2005. Ketika itu, usia kandungan bunda sudah 8 bulan 20 hari... Begitu terjadi gempa besar berskala 6,7 SR pada pukul 17.29 WIB, bunda lari terbirit-birit ketakutan. Dalam kondisi panik serupa itu.., psikologis bunda sangat down. Bunda menangis sejadi-jadinya. Kekhawatirannya cuma dua, aku yang ada dalam kandungannya dan ayahku yang tengah tertidur lelap di dalam kamar. Kata bunda, saat gempa itu berguncang, ayah masih keenakan tidur... Bunda berkali-kali menjerit memanggil ayah.

Begitu gempa reda, giliran ayah yang panik ngeliat bunda yang terus menangis ketakutan. Tidak hanya ayah yang panik, semuanya panik. Terlebih saat itu di rumah ada kakek dan nenek bersama tante Mia --adiknya ayah-- dari pekanbaru, ada nenek buyut Ema dan om Akbar dari Batusangkar, ada Etek El Amor dan Pak Etek Medis dari Pamanukan yang semuanya kebetulan berada di Padang.

Ketakutan semakin menjadi-jadi, menyusul terjadinya gempa susulan yang lumayan besar dengan range waktu setiap 10-60 menit. Pukul 17.45 WIB terjadi gempa 5,8 SR, pukul 18.14 gempa 6,3 SR, terus pukul 18.45 WIB gempanya berkekuatan 5,5 SR, 10 menit kemudian (pukul 18.55)gempa 5,9 SR. Sekitar 2 jam reda dari gempa di atas 4 SR itu, sekitar pukul 20.54 WIB terjadi lagi gempa berkekuatan 5,3 SR, dilanjutkan 5,2 SR pada pukul 21.25 WIB dan 5,1 SR pada pukul 21.47 WIB, serta 4,8 SR pada pukul 22.41 WIB. Gempa-gempa itu, ditutup dengan gempa yang lebih besar yaitu 6,4 SR pada pukul 00,24 WIB (Senin, 11 April 2005). Seluruh yang ada di rumah saat itu terpaksa tidur di halaman rumah, karena takut terjadi gempa susulan yang jauh lebih besar dan bisa saja merobohkan bangunan.

Gempa susul-menyusul itu, bikin panik semuanya. Mereka semakin khawatir dengan keselamatanku di dalam kandungan bunda. Maka muncullah beberapa opsi untuk menyelamatkan aku dan bunda. Bunda disuruh milih, mengungsi ke Batusangkar ikut nenek buyut Ema atau ke Pekanbaru ikut nenek dan kakek, atau ke Jambi tempatnya Ummi Alif (kakak bunda). Awalnya bunda nggak mau, karena beliau maunya selalu dekat dengan ayah, terlebih lagi menjelang kelahiranku ini. Tapi karena beberapa kali di desak, akhirnya bunda memilih ke Jambi yang relatif lebih aman.

Keesokan harinya, bunda berangkat ke Jambi dengan rombongan abak dan amak (mertuanya Ummi Alif) yang sengaja datang ke Padang menjemput tante Anci (adeknya Abi Alif) untuk pulang ke Muara Tembesi. Bersama merekalah, bunda pergi meninggalkan ayah yang memang harus bertahan di Padang mengingat beliau tidak bisa meninggalkan pekerjaannya sebagai wartawan di Posmetro Padang.

Di Muara Tembesi.., bunda menjalani hari-hari tanpa ayah. Hanya ditemanin Ummi dan Abi serta Bang Alif yang ketika itu berusia 2 tahun. Sementara saat-saat kelahirankun tinggal hitungan hari. Komunikasi ayah dan bunda hanya via SMS saja, untuk mengetahui perkembanganku setiap saat dan sekaligus mereka melepas kangen.

Dari hitungan bidan, semula aku diperkirakan lahir pada 21 April. Karena itu pada 17 April ayah sudah mengambil cuti untuk menyusul bunda ke Muara Tembesi guna menemaninya melahirkanku. Ternyata prediksi waktu itu pun salah, ayah tertahan di Tembesi hingga seminggu lamanya. Padahal beliau hanya minta cuti 5 hari ke boss-nya.

Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu itu pun datang. Pada Sabtu, 30 April 2005, bunda sudah mulai kontraksi sejak pagi harinya. Sekitar pukul 14.00 WIB, beliau mulai ditangani bidan desa setempat. Dengan susah payah bunda berupaya mengeluarkanku dari rahimnya dengan bantuan dan dorongan semangat dari ayah yang mendampinginya. Hingga pukul 18.00 WIB, aku belum juga nongol. Ayah dan bunda sudah mulai putus asa. Kala itu yang terpikir oleh mereka; bunda sebaiknya dioperasi saja. Namun bidan tetap meyakinkan, bahwa aku akan lahir dengan normal kalau bunda terus bersemangat untuk ngejan sekuat-kuatnya...

Dengan susah payah, berlinang peluh dan air mata, antara hidup dan mati.., akhirnya aku lahir ke atas dunia sekitar pukul 21.00 WIB kurang atau tepatnya pukul 20.54 WIB. Alhamdulillah... itu kata yang terucap dari bibir ayah. Sementara bunda sudah terbaring lemas. Kendati begitu, matanya tetap berbinar-binar menatapku yang lahir sehat dan selamat.

Ketika lahir, beratku sekitar 4 kg dan tinggi 52 cm (Pantesaann.. susah keluarnya... he 3x). Saat itu juga, seusai ayah mengumandangkan iqomat, aku diberi nama VALDISYA AZZAHRA APKAMADI. Nama cantik itu, sudah dipersiapkan ayah dan bunda jauh sebelum mereka menikah atau ketika mereka masih pacaran dulu. Seandainya aku laki-laki, mereka akan memberi nama FARROUQ MUHAMMAD ALKAMADI. (mungkin nama itu akan dipakai oleh adik laki-lakiku kelak, Insya Allah...)

Begitulah ceritanya, mengapa aku dilahirkan di Muara Tembesi....(***)

Hai... Ini Disya

  • Nama lengkapku Valdisya Azzahra Apkamadi. Anak pertama dari Maryulismax dan Nur Azizah
  • Tinggal bersama ayahbunda di Kota Padang.
  • Lahir di Muara Tembesi, Jambi pada 30 April 2005
My profile